Kamis, 16 Mei 2013

TEKNIK-TEKNIK DASAR KOMUNIKASI DALAM KONSELING



Konseling merupakan suatu proses komunikasi antara konselor dan klien. Sebagai suatu proses komunikasi, konseling melibatkan ketrampilan konselor dalam menangkap atau merespon pernyataan klien dan mengkomunikasikannya kembali kepada klien tersebut. Dalam berkomunikasi dengan klien konselor seharusnya menggunakan respon-respon yang fasilitatif bagi pencapaian tujuan konseling. Secara umum respon-respon tersebut dapat dikelompokan kedalam berbagai teknik dasar komunikasi konseling antara lain :

A. Attending ( perhatian )
Attending adalah ketrampilan / teknik yang digunakan konselor untuk memusatkan perhatian kepada klien agar klien merasa dihargai dan terbina suasana yang kondusif sehingga klien bebas mengekspresikan / mengungkapkan tentang apa saja yang ada dalam pikiran, perasaan ataupun tingkah lakunya. Contohnya posisi badan termasuk gerak isyrat dan ekspresi muka serta kontak mata.

B. Opening ( pembukaan ) 
Opening adalah ketrampilan / teknik untuk membuka / memulai komunikasi dan hubungan konseling. Contohnya menyambut kehadiran klien dan membicarakan topic netral seperti menjwab salam, mempersilakan duduk dll.

C. Acceptance ( penerimaan )
Acceptance ( penerimaan ) adalah teknik yang digunakan konselor untuk menunjukan minat dan pemahaman terhadap hal-hal yang dikemukakan klien. Contohnya anggukan kepala dll.

D. Rertatement ( pengulangan ) 
Restatement adalah teknik yang digunakan konselor untuk mengulang / menyatakan kembali pernyataan klien ( sebagian atau seluruhnya ) yang dianggap penting.

E. Reflection of fefling ( pemantulan perasaan )
Reflection of fefling ( pemantulan perasaan ) adalah teknik yang digunakan konselor untuk memantulkan perasaan / sikap yang terkandung dibalik pernyataan klien.

F. Clafication ( klarifikasi )
Clafication ( klarifikasi ) adalah teknik yang digunakan untuk mengungkapkan kembali isi pernyataan klien dengan menggunakan kata-kata baru dan segar. Contohnya pada intinya, pada dasarnya dll.

G. Paraprahing
Paraprashing adalah kata-kata konselor untuk menyatakan kembali esensi dari ucapan-ucapan klien. Contohnya “ya”, “benar/betul” secara spontan dari klien.

H. Structuring ( pembatasan )
Structuring ( pembatasan ) adalah teknik yang digunakan konselor untuk memberikan batas-batas / pembatasan agar proses konseling berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dalam konseling.


I. Lead ( pengarahan )

Lead ( pengarahan ) adalah teknik / ketrampilan yang digunakan konselor untuk mengarahkan pembicaraanklien dari suatu hal ke hal yang lain secara langsung ketrampilan ini sering pula disebut ketrampilan bertanya.

J. Silence ( diam )
Silence ( diam ) adalah suasana hening, tidak ada interaksi verbal antara konselor dank lien dalam proses konseling.

K. Reassurance ( penguatan / dukungan )
Reassurance ( penguatan / dukungan ) adalah ketrampilan / teknik yang digunakan oleh konselor untuk memberikan dukungan / penguatan terhadap pernyataan positif klien agar ia menjadi lebih yakin dan percaya diri.

L. Rejection ( penolakan )
Rejection ( penolakan ) adalah ketrampilan / teknik yang digunakan konselor unutuk melarang klien melakukan rencana yang akan membahayakan / merugikan dirinya atau orang lain.

M. Advice ( saran / nasehat )
Advice adalah ketrampilan / teknik yang digunakan konselor untuk memberikan nasehat atau saran bagi klien agar dia lebih jelas mengenai apa yang akan dikerjakan.

N. Summary ( ringkasan / kesimpulan )
Summary ( ringkasan / kesimpulan ) adalah ketrampilan / teknik yang digunakan konselor untuk menyimpulkan atau ringkasan mengenai apa yang telah dikemukakan klien pada proses komunikasi konseling.

O. Konfrontasi ( pertentangan )
Konfrontasi ketrampilan / teknik yang digunakan oleh konselor untuk menunjukan adanya kesenjangan, diskrepansi atau inkronguensi dalam diri klien kemudian konselor mengumpanbalikan kepada klien.

P. Interprestasi ( penafsiran )
Interprestasi adalah ketrampilan / teknik yang digunakan oleh konselor dimana atau karena tingkah laku klien ditafsirkan / diduga dan dimengerti dengan dikomunikasikan pada klien. Selain itu didalam interpretasi konselor menggali dan makna yang terdapat dibelakang kata-kata klien atau dibelakang perbuatan / tindakannya yang telah diceritakannya. Bertujuan membantu klien lebih memahami didiri sendiri bila mana klien bersedia mempertimbangkannya dengan pikiran terbuka.

Q. Termination ( pengakhiran )
Termination ( pengakhiran ) adalah ketrampilan / teknik yang digunakan konselor untuk mengakhiri komunikasi berikutnya maupun mengakhiri karena komunikasi konseling betul-betul telah “berakhir”.


Tahapan Dalam Bimbingan Karir



Tahap 1 : Memperoleh Pemahaman Diri
      Untuk memperoleh pengetahuan tentang pemahaman diri bisa dideskripsikan dengan menggunakan tes psikologis. Minimal ada lima jenis tes yang sering digunakan oleh konselor dalam konseling karir dengan menggunakan teori trait and factor, yaitu tes bakat (aptitudes), prestasi (Achievements), minat (interests), nilai-nilai (values) dan kepribadian (personality). Berikut ini penjelasan dari kelima jenis tes tersebut.
a.   Bakat (Aptitudes). Tes bakat (aptitudes) digunakan untuk memprediksi level kemungkinan yang akan terjadi dan kemampuan individu untuk melaksanakan tugas. Bakat individu dapat diketahui melalui tes. Instrumen tes yang biasa digunakan dalam pengukuran bakat ini antara lain: Baterai Primary Mental Abilities (PMA) dan Thurstone, Differential Apti(ude Tests (DAT) terbitaii Psychological Corporation, Guilford-Ziniwemiait Aptitude Survey, Califomia Test of Mental Matirity, General Aptitude Test Battery (GATB), Minnesota Occupational Rating Scale, Minnesoh Clerical Test, daiz Minnesota Rate of Manipulation Test, the School and College Ability Tests (SCAT), the College Board Scholastic Aptitude Tests (SAT),the ACT Assessment Program Academic Tests (ACT), dan Armed Services Vocational Aptitude Battery (ASVAB). Di Indonesia untuk mengukur bakat individu digunakan tes yang bemama Intelligence Structure Tests (1ST) yang terdiri dari sembilan aspek bakat.
b.  Prestasi (Achievements). Prestasi dapat dibagi ke dalam tiga tipe, yaitu : pertam, prestasi akademik, biasanya diukur dengan angka, bukan dengan skor tes khusus. Kedua, prestasi dalam kerja, seperti kesempumaan tugas-tugas.
c.   Minat (Interests). Minat (Interest) diartikan sebagai kehendak, keinginan atau kesukaan (Kamisa, 1997 : 370). Minat adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan berhubungan erat dengan sikap. Minat dan sikap merupakan dasar bagi prasangka, dan minat juga penting dalam mengambil keputusan. Minat dapat menyebabkan seseorang giat melakukan sesuatu menuju ke sesuatu yang telah menarik perhatiannya.
d.   Nilai-nilai (Values). Nilai-nilai (values) melambangkan sesuatu yang penting dan sulit untuk memperkirakan kemungkinannya. Nilai-nilai yang sangat penting dalam konseling karir yaitu nilai-nilai umum dan nilai-nilai dunia kerja. Adapun maksud dari pengetahuan mengenai nilai-nilai ini adalah agar individu mampu memutuskan arah karir yang jelas. Instrumen inventori nilai-nilai yang biasa digunakan adalah: (a) Study of Values (SV) yang mengukur aspek : theoretical, economic, aesthetic, social, political, and religious; dan (b) Values Scale (VS) yang mengukur aspek ability initialization, achievements, adumicenrent, aesthetics, altruism, authority, air tonicity, creativity, economic rewards, life style, personal development, physical activity, prestige, risk, social interaction, social relations, variety, working conditions, cultural identity, physical prowess, and economic security (Sharf, 1992: 22).
e.   Kepribadian (Personality). Pengukuran terhadap kepribadian telah menjadi area penting dan berguna untuk mengkonseptualisasikan individu dalam pilihan karir. Minimal terdapat tiga jenis instrumen untuk mengukur kepribadian individu, yaitu Califomia Psychological Inventory (CPI), The Six teen Factor Questionaire (16 PF) dan The Edwards Personal Preference Schedule (EPPS). Melalui hasil tes kepribadian ini,konselong bisa membantu individu dalam menentukan pilihan karimya dengan mencocokkan antara kepribadian dengan keadaan lapangan pekerjaan.  

Tahap 2: Memperoleh Pengetahuan tentang Dunia Kerja
      Informasi pekerjaan ialah unsur penunjang kedua dari teori trait and factor. Peran konselor adalah membantu konseli untuk mengumpulkan informasi pekerjaan. Untuk mengumpulkan informasi tidak perlu tergantung kepada pengetahuan karir seorang konselor, tetapi menggunakan banyak sumber untuk menambah pengetahuan ini. Terdapat tiga aspek penting yang berkaitan dengan informasi pekerjaan, yaitu: (1) menggambarkan pekerjaan, kondisi pekerjaan atau masalah gaji; (2) pengelompokkan pekerjaan; dan (3) membantu mengetahui karakteristik dan kebutuhan untuk masing-masing pekerjaan. Informasi pekerjaan dapat dieksplorasi dari berbagai sumber yang berbeda, contohnya melalui brosur yang dibuat oleh asosiasi pekerjaan profesional, pamflet yang bisa didapatkan melalui penerbit khusus yang menangani tentang informasi pekerjaan. Tipe informasi yang paling penting untuk konselor adalah mengetahui uraian tentang berbagai jenis pekerjaan.

Tahap 3: Mengintegrasikan Informasi Tentang Diri dan Dunia Kerja
      Langkah ketiga adalah mengintegrasikan informasi tentang diri dan dunia kerja. Informasi pekerjaan diindikasikan dengan bahan-bahan, penerimaan, ketertarikan atau minat, nilai, dan karakter pribadi yang dihutuhkan setiap pekerjaan.


Layanan Responsif


Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada peserta didik yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan.
Tujuan pelayanan responsif adalah membantu peserta didik agar dapat memenuhi kebutuhannya dan memecahkan masalah yang dialaminya atau membantu peserta didik yang mengalami hambatan, kegagalan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Tujuan pelayanan ini dapat juga dikemukakan sebagai upaya untuk mengintervensi masalah-masalah atau kepedulian pribadi peserta didik yang muncul segera dan dirasakan saat itu, berkenaan dengan masalah sosial-pribadi, karir, atau masalah pengembangan pendidikan.
Fokus pelayanan responsif bergantung kepada masalah atau kebutuhan peserta didik. Masalah dan kebutuhan peserta didik berkaitan dengan keinginan untuk memahami sesuatu hal karena dipandang penting bagi perkembangan dirinya secara positif. Masalah lainnya adalah yang berkaitan dengan berbagai hal yang dirasakan mengganggu kenyamanan hidup atau menghambat perkembangan diri peserta didik, karena tidak terpenuhi kebutuhannya, atau gagal dalam mencapai tugas-tugas perkembangan. Masalah peserta didik pada umumnya tidak mudah diketahui secara langsung tetapi dapat dipahami melalui gejala-gejala perilaku yang ditampilkannya.
Ragam bantuan yang dapat dilakukan dalam pelayanan responsif. :
1. Konseling Individual dan Kelompok: Pemberian pelayanan konseling ini ditujukan untuk membantu peserta didik yang mengalami kesulitan, mengalami hambatan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Melalui konseling, peserta didik (konseli) dibantu untuk mengidentifikasi masalah, penyebab masalah, penemuan alternatif pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan secara lebih tepat.
2. Referal (Rujukan atau Alih Tangan). Apabila konselor merasa kurang memiliki kemampuan untuk menangani masalah konseli, maka sebaiknya dia mereferal atau mengalihtangankan konseli kepada pihak lain yang lebih berwenang, seperti psikolog, psikiater, dokter, dan kepolisian. Konseli yang sebaiknya direferal adalah mereka yang memiliki masalah, seperti depresi, tindak kejahatan (kriminalitas), kecanduan narkoba, dan penyakit kronis.
3. Kolaborasi dengan Guru Mata Pelajaran atau Wali Kelas. Konselor berkolaborasi dengan guru dan wali kelas dalam rangka memperoleh informasi tentang peserta didik (seperti prestasi belajar, kehadiran, dan pribadinya), membantu memecahkan masalah peserta didik, dan mengidentifikasi aspek-aspek bimbingan yang dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran. Aspek-aspek itu di antaranya : (1) menciptakan iklim sosio-emosional kelas yang kondusif bagi belajar peserta didik; (2) memahami karakteristik peserta didik yang unik dan beragam; (3) menandai peserta didik yang diduga bermasalah; (4) membantu peserta didik yang mengalami kesulitan belajar melalui program remedial teaching; (5) mereferal (mengalihtangankan) peserta didik yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing; (6) memberikan informasi yang up to date tentang kaitan mata pelajaran dengan bidang kerja yang diminati peserta didik; (7) memahami perkembangan dunia industri atau perusahaan, sehingga dapat memberikan informasi yang luas kepada peserta didik tentang dunia kerja (8) menampilkan pribadi yang matang, baik dalam aspek emosional, sosial, maupun moral-spiritual (hal ini penting, karena guru merupakan figur central bagi peserta didik); dan (9) memberikan informasi tentang cara-cara mempelajari mata pelajaran yang diberikannya secara efektif.
4. Kolaborasi dengan Orang tua. Konselor perlu melakukan kerjasama dengan para orang tua peserta didik. Kerjasama ini penting agar proses bimbingan terhadap peserta didik tidak hanya berlangsung di Sekolah, tetapi juga oleh orang tua di rumah. Melalui kerjasama ini memungkinkan terjadinya saling memberikan informasi, pengertian, dan tukar pikiran antar konselor dan orang tua dalam upaya mengembangkan potensi peserta didik atau memecahkan masalah yang mungkin dihadapi peserta didik. Untuk melakukan kerjasama dengan orang tua ini, dapat dilakukan beberapa upaya, seperti: (1) kepala Sekolah atau komite Sekolah mengundang para orang tua untuk datang ke Sekolah (minimal satu semester satu kali), yang pelaksanaannnya dapat bersamaan dengan pembagian rapor, (2) Sekolah memberikan informasi kepada orang tua (melalui surat) tentang kemajuan belajar atau masalah peserta didik, dan (3) orang tua diminta untuk melaporkan keadaan anaknya di rumah ke Sekolah, terutama menyangkut kegiatan belajar dan perilaku sehari-harinya.
5. Kolaborasi dengan pihak-pihak terkait di luar Sekolah Yaitu berkaitan dengan upaya Sekolah untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang relevan dengan peningkatan mutu pelayanan bimbingan. Jalinan kerjasama ini seperti dengan pihak-pihak (1) instansi pemerintah, (2) instansi swasta, (3) organisasi profesi, seperti ABKIN, (4) para ahli dalam bidang tertentu yang terkait, seperti psikolog, psikiater, dan dokter, (5) MGP (Musyawarah Guru Pembimbing), dan (6) Depnaker (dalam rangka analisis bursa kerja/lapangan pekerjaan).
6. Konsultasi. Konselor menerima pelayanan konsultasi bagi guru, orang tua, atau pihak pimpinan Sekolah yang terkait dengan upaya membangun kesamaan persepsi dalam memberikan bimbingan kepada para peserta didik, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan peserta didik, melakukan referal, dan meningkatkan kualitas program bimbingan dan konseling.
7. Bimbingan Teman Sebaya (Peer Guidance/Peer Facilitation). Bimbingan teman sebaya ini adalah bimbingan yang dilakukan oleh peserta didik terhadap peserta didik yang lainnya. Peserta didik yang menjadi pembimbing sebelumnya diberikan latihan atau pembinaan oleh konselor. Peserta didik yang menjadi pembimbing berfungsi sebagai mentor atau tutor yang membantu peserta didik lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, baik akademik maupun nonakademik. Di samping itu dia juga berfungsi sebagai mediator yang membantu konselor dengan cara memberikan informasi tentang kondisi, perkembangan, atau masalah peserta didik yang perlu mendapat pelayanan bantuan bimbingan atau konseling.
8. Konferensi Kasus, yaitu kegiatan untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik itu. Pertemuan konferensi kasus ini bersifat terbatas dan tertutup.
9. Kunjungan Rumah, yaitu kegiatan untuk memperoleh data atau keterangan tentang peserta didik tertentu yang sedang ditangani, dalam upaya menggentaskan masalahnya, melalui kunjungan ke rumahnya.

Konseling eklektik (eclectic counseling)


Konseling eklektik (eclectic counseling) mulai dikembangkan sejak tahun 1940-an oleh Frederick Thorne yang merupakan promotor utama dari corak konseling ini. Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh Robinson. Teori konseling ini menunjukkan suatu sistematika dalam konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan hasil perpaduan berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan.
Menurut Thorne kepribadian seorang individu terbentuk dan tercermin sebagai interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Hal ini merupakan karakteristik dari proses berubah dan menjadi. Dinamika kepribadian terdiri dari serangkaian dorongan seperti, dorongan untuk perwujudan diri yang lebih tinggi (aktualisasi, fungsi sempurna, integrasi), dorongan untuk mencapai dan memelihara kestabilitasan diri (pemeliharaan diri, kontrol diri, tujuan hidup, gaya hidup), dorongan menggabungkan fungsi pertentangan dalam diri sehingga menghindari ketidakseimbangan.
Kata eklektik berarti menyeleksi, memilih doktrin yang sesuai atau metode dari berbagai sumber atau sistem. Teori konseling eklektik menunjuk pada suatu sistematika dalam konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan, yang merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan.  Konselor yang berpegang pada pola eklektik berpendapat bahwa mengikuti satu orientasi teoritis serta menerapkan satu pendekatan terlalu membatasi ruang gerak konselor sebaliknya konselor ingin menggunakan variasi dalam sudut pandangan, prosedur dan teknik sehingga dapat melayani masing-masing konseli sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah-masalah yang dihadapi.
Tujuan konseling menurut teori eklektik adalah membantu klien mengembangkan integrasinya pada level tertinggi, yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan. Untuk mencapai tujuan yang ideal ini maka klien perlu dibantu untuk menyadari sepenuhnya situasi masalahnya, mengajarkan klien secara sadar dan intensif, dan memiliki latihan pengendalian atas permasalahan. Oleh karena itu, konselor dituntut untuk memiliki kepribadian yang baik.

Rasional Emotif


Teori Rasional Emotif

Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangkan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Allbert Elis, seorang Doktor dan ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Teori ini dikembangkan ketika ia dalam praktek terapi mendapatkan bahwa sistem Psikoanalisis ini mempunyai kelemahan-kelemahan secara teoritis (Ellis, 1974)
Terapi Rasional Emotif adalah aliran Psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan pada potensi, baik berfikir rasional dan jujur maupun untuk berfikir irasional dan jahat. Terapi Rasional Emotif menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakat
Tujuan dari Rational Emotif Theory adalah :
1.      Memperbaiki dan mengubah segala perilaku yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembanngkan dirinya.
2.      Menghilangkan gangguan Emosional yang merusak.
3.      Untuk membangun Self-Interest, Self-Direction, Tolerence, Acceptance of Uncertainty, Fleksibel, Commitment, Scientific Thinking, Risk Taking, Self Acceptance Klien.

MENTAL DISORDER (KEKALUTAN/KEKACAUAN/GANGGUAN MENTAL)

MENTAL DISORDER


Definisis disorder mental
1.       Disorder mental adalah bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental, disebabkan oleh kegagalan bereaksinya mekhanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan keteganggan-ketegangan. Sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari suatu bagian, satu organ atau sistim kejiwaan/mental.
2.       Disorder mental itu merupakan totalitas kesatuan daripada ekspresi proses kejiwaa/mental yang pathologis terhadap setimuli sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor kaustif sekunder lainnya.
Kekacauan mental itupun diberi pertanda permulaan dengan fenomena antara lain : cemas-cemas, ketakutan, pahit hati, hambar hati, adaptis, cemburu, iri hati, dengki, kemarahan-kemarahan yang eksplosif, rasa asosial, ketegangan bati yang kronis, dan lain-lain. Maka kekacauan mental itu merupakan bentuk gangguan pada ketenangan batin dan harmoni struktur kepribadian.
Sedangkan orang yang memiliki mental sehat mempunyai ciri-ciri khas antara lain :
1.       Ada koordinasi darisegenap usaha dan potensinya,
2.       Memiliki integrasi dan regulasi terhadap setruktur kepribadiannya,
3.       Efisiensi dalam setiap tindakannya,
4.       Memiliki tujuan hidup,
5.       Bergairah dan tenang-harmonis batinnya.
Jadi mental yang sehat itu tidak hanya memanifestasikan diri dalam bentuk : tnapa adanya ganguan batin saja, tapi posisi pribadinya juga harmonis dan imbang. Baik harmonis-imbang kedalam terhadap diri sendiri, maupun terhadap lingkungan sekitarnya.
Maka budaya moderen penuh reflitas dan kopentisi hidup ini merefleksikan bentuk budayaan eksplosif atau higtn tension cultur dimana orang getol berkopetinsi mengejar penghasilan tinggi dan kemewahan hidup materil. Maka Jika usaha dan ambisi untuk mencapai kemewahan hidup itu tidak terperinci orang akan merasa malu, taku,tegang, bingung,merasa rendah diri dan mengalami frustasi.
Gangguan emosional dan kekalutan mental banyak pula muncul pada masa transisi. Dari masa agraris beralih pada periode mekanisasi indrustrisasi dan urbaniasi.
Selama masih banyak manusia yang bersifat dinamis dan agresif, selama itu masih terdapat persaingan antar-manusia, konflik, clash dan perang.
Biasanya konflik-konflik terbuka antara-manusia dan konflik bathin sendiri tersebut bisa diselesaikan oleh individu itu sendiri, tanpa ikut campur tangannya orang luar; dan tanpa menimbulkan ekses gangguan jiwa. Akan tetapi ada kalanya juga persaingan dan konflik yang tidak sehat dan terus-menerus terjadi itu menyebabkan timbulnya kekalutan bathin yang terpendam/tertutup, sifatnya sangat serius dan membahayakan kesehatan jiwa penderitanya. Kekalutan jiwa ini kemudian memanifestasikan diri dalam bentuk tingkah laku autis, dipenuhi rasa panik dan gambaran bahaya yang khayali. Lalu si penderita membayangkan dalam khayalannya satu dunia sosial imaginer, sesuai dengan angan-angannya sendiri.

Pengaturan diri


Pengaturan diri


Ketika manusia memiliki tingkat self effeacy tinggi,yakin bahwa tindak perwakilan bisa diandalkandan memiliki kemampuan untuk memengaruhi hasil yang diharapkan secara kolektif (collective effeacy) yang solid maka, mereka akn memilik kemampuan tertentu untuk mengatur perilaku diri sendiri.
Manusia memotivasi dan menuntun perilaku melalui kontrol proaktif dengan menetapkan bagi diri mereka tujuan-tujuan berharga, yang pada gilirannya menciptakan kondisi tidak keseimbangan untuk kemudian memobilisasikemampuan dan upaya berdasarkan estimasiantisipatoris mereka bagi segala yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Proses pembentuk pengaturan diri...
Pertama, keterbatasan kemampuan manusia memanipulasi faktor-faktor eksternal, dan keterbatasan ini mendukung paradigma interaksi yang resiprok.
Kedua, manusia sanggup memonitir perilaku dan mengefaluasinya berdasaran tujuan terdekat atau terjauh.

Faktor – faktor eksternal pengaturan diri
Faktor – faktor eksternal mempengaruhi pengaturan diri ada dua :
Pertama, faktor eksternal menyediakan standar untuk mengevaluasi perilaku kitasendiri.
Kedua, faktor-faktor eksternal memengaruhi pengaturan diri dengan menyediakan cara-cara penguatan.
Faktor-faktor eksternal berinteraksi dengan faktor-faktor atu personal dalam pengaturan diri (1) observasian diri faktor internal pertama pengaturan diri adalah observasi diri (self observation) terhadap performa yang sudah dilakukan.
(2) sebagai proses yang kedua, proses penilaian (judgmental process) membantu meregulasi perilaku melalui proses mediasi kognitif.
(3) reaksi diri faktor internal ketiga dan terakhir dari pengaturan diri adalah reaksi diri (self reaction)manusia merespon positif perilaku mereka tergantung kepada bagaimana perilaku ini diukur dan apa setandar pribadinya.

Pengaturan diri melalui tindakan moral
Meredefinisi perilaku
Dengan meredefinisi perilaku, manusia menjustifikasi tindakan keliru dengan penstrukturan ulang perilaku secara kognitif sehingga memampukan mereka meminimalkan atau melepaskan diri dari tanggung jawab.
©      Yang pertama justifikasi moral, yaitu perilaku keliru dibuat seperti upaya pembelaan diri bahkan kehormatan.
©      Metode yang kedua mereduksi tanggung jawab dengan merdefinisi perilaku yang keliru adalah membuat pembandingan oportunistik atau menguntungkan diri sendiriantara perilaku yang keliru dengan orang lain yang lebih jahat.
©      Teknik ketiga dalam meredefinisi perilaku adalah menggunakan pelabelan eufemistik.
Tindakan menghargai atau mendistorsi konsekuensi-konsekuensi perilaku
Metode kedua untuk menghindari tanggung jawab adalah mendistorsi atau memburamkan kaitan antara perilaku dan konsekuensi perilakunya yang rusak.
Konsekuensi yang rusak dari suatu tindakan :
©      Pertama, manusia dapat meminimalkan konsekuensi-konsekuensi perilaku mereka.
©      Kedua, manusia sengaja tidak mengahargai atau mengabaikan konsekuensi-konsekuensi tindakannya, dengan alasan tidak melihat langsung efek-efek berbahaya perilaku tertentu.
Pendehumanisasian atau mempersalahkan korban
Ketiga, manusia dapatmemburamkan tanggung jawab bagi tindakannya dengan mendehumanisasikan korban, bahkan mengkambinghitamkan

Memindahkan atau menyebarkan tangung jawab
Metode keempat melepaskan diri dari konsekuensi tindakan adalah memindahkan atau menyebarkan tanggung jawab.